Generasi sandwich (sandwich generations) di Indonesia yang kental berkultur Asia, mulai menjadi isu dan banyak diperbincangkan sejak 10 tahun terakhir. Apakah Anda sudah pernah mendengar sebelumnya atau baru pertama kali mengetahuinya?
Apa itu sandwich generations? Istilah sandwich generations sendiri mulai diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller, seorang Profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikatpada tahun 1981 lalu melalui jurnal dengan judul The 'sandwich' generation: adult children of the aging.
Kondisi tersebut dianalogikan seperti sandwich dimana sepotong daging terhimpit oleh 2 buah roti. Roti tersebut diibaratkan sebagai orang tua (generasi atas) dan anak (generasi bawah), sedangkan isi utama sandwich berupa daging, mayonnaise, dan saus yang terhimpit oleh roti diibaratkan bagai diri sendiri.
Sama seperti sandwich, generasi ini terhimpit di antara 2 tanggung jawab keuangan sekaligus. Dengan kata lain, generasi yang bertanggung jawab secara finansial untuk mengurusi anak-anak atau orang yang lebih muda dari mereka, sekaligus orang tuanya. Dengan kata lain, Generasi sandwich merupakan generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup 3 generasi yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya.
Dikutip dari berbagai sumber, generasi sandwich terjadi pada seseorang baik pria maupun wanita yang memiliki rentan umur dari 30 hingga 40 tahun. Namun ada pula yang menyebutkan rentang umur antara 30 hingga 50 tahun.
Bagi yang sudah menikah, membangun rumah tangga menjadi PR tambahan. Apalagi sekarang ini, generasi milenial memiliki tantangan dalam merealisasikan rumah impian. Biaya hidup yang kian mahal, utamanya di ibu kota membuat generasi ini makin rentan stres. Bagaimana cara siasati keuangannya? Generasi sandwich juga cenderung mengabaikan masalah perawatan untuk dirinya sendiri. Padahal agar dapat berperan terus sebagai caregiver, generasi tersebut perlu lebih memperhatikan kepentingannya.
Tak heran, generasi ini lebih rentan stres karena multi peran dan banyaknya tekanan, antara lain adalah masalah keuangan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan rumah tangga. Beberapa beban yang paling berat, adalah biaya kesehatan yang naik 13-14 persen setiap tahun. Beban pendidikan anak atau adik-adik yang menjadi tanggungan pun bisa meningkat 10-15 persen tiap tahun. Dua sektor ini menempati tingkat inflasi yang tinggi.
Namun, seorang Aging and Elder Care Expert (seniorliving.org) bernama Carol Abaya mengkategorikan generasi sandwich menjadi tiga ciri berdasarkan perannya.
1. The Traditional Sandwich Generation
Orang dewasa berusia 40 hingga 50 tahun yang dihimpit oleh beban orang tua berusia lanjut dan anak-anak yang masih membutuhkan finansial.
2. The Club Sandwich Generation
Orang dewasa berusia 30 hingga 60 tahun yang dihimpit oleh beban orang tua, anak, cucu (jika sudah punya), dan atau nenek kakek (jika masih hidup).
3. The Open Faced Sandwich Generation
Siapapun yang terlibat dalam pengasuhan orang lanjut usia, namun bukan merupakan pekerjaan profesionalnya (seperti pengurus panti jompo) termasuk ke dalam kategori ini.
Jika dilihat dari bebannya saja, dari sini kita sudah bisa merasakan bahwa generasi ini memiliki beban hidup yang cukup bahkan sangat berat. Lantas, mengapa generasi sandwich ini dapat terjadi?
Banyak faktor yang melatarbelakanginya, namun pada umumnya ini terjadi karena kegagalan finansial orang tua. Bukan maksud menyalahkan sepenuhnya, tapi orang tua yang tidak memiliki perencanaan finansial yang baik untuk masa tuanya akan berpotensi besar untuk membuat sang anak menjadi generasi sandwich berikutnya. Dan selanjutnya sang anak akan mengikuti jejak orang tuanya kelak sebagai orang tua yang tidak mandiri di masa tuanya, dan pada akhirnya berlanjut begitu seterusnya.
Bagaimana cara memutus rantai generasi sandwich?
Memutus rantai generasi sandwich bukanlah hal mudah yang dapat dilakukan begitu saja. Perlu konsistensi dan usaha yang lebih besar untuk dilakukan. Tak perlu untuk merasakannya terlebih dahulu. Bagi kamu yang saat ini beruntung karena belum berada di posisi ini, maka tak ada salahnya untuk mengikuti 6 langkah ini agar kamu dan generasi selanjutnya tidak lagi merasakan beban berat ini.
1. Miliki tabungan rencana
Jika kamu merasakan kesulitan untuk menabung, maka memilih tabungan rencana adalah sesuatu yang tepat. Tabungan rencana adalah tabungan dengan setoran rutin secara bulanan yang memiliki fasilitas auto debit dari rekening sumber ke rekening tabungan rencana dan penarikannya dibatasi sesuai ketentuan bank
Tabungan rencana ini ada banyak jenisnya yaitu pernikahan, Haji atau Umrah, pendidikan, wisata, dan lainnya. Jadi apapun tujuanmu di masa depan, kamu dapat mengelola keuanganmu dengan bijak dan disiplin dengan tabungan rencana. Apalagi tabungan ini juga mendapatkan polis asuransi jiwa yang sesuai dengan ketentuan masing-masing bank.
2. Menyiapkan program pensiun
Sama dengan menabung, Anda akan membayar sejumlah uang yang sudah ditetapkan secara rutin dan hanya bisa diambil ketika memasuki usia pensiun. Program pensiun adalah langkah awal yang baik sebagai bukti sayang kamu kelak kepada anak dan berguna untuk menjamin kehidupan masa tua sehingga nantinya dapat meminimalisir terjadinya generasi sandwich pada anak Sobat.
Saat ini, program pensiun dapat dimiliki oleh siapapun, tidak hanya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki program pensiun dari pemerintah. Jika kamu bukan ASN, maka kamu bisa menyiapkan program pensiun dengan mendaftarkan diri ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), yang telah dibahas secara lengkap di link:
3. Miliki asuransi kesehatan
Semakin bertambahnya usia, ketahanan tubuh akan semakin mudah turun yang berimbas pada kesehatan. Hal ini harus benar-benar kamu perhatikan dengan membuat asuransi kesehatan baik untuk diri sendiri, orang tua, maupun anak. Dengan memiliki asuransi ini kamu akan mendapatkan jaminan kesehatan atas rawat inap, rawat jalan, pengobatan untuk gigi, penggantian kacamata, melahirkan sesuai dengan batasan yang dijamin polis.
Anda bisa memilih untuk memiliki asuransi kesehatan dari pemerintah (BPJS Kesehatan) atau dari swasta. Kamu bisa memilih perusahaan asuransi swasta yang telah terdaftar dan diawasi oleh OJK. Silahkan hubungi Agen Asuransi sahabat keluarga Anda untuk mulai merencanakan memiliki asuransi kesehatan dengan masa pertanggungan yang panjang, premi yang terjangkau dan dapat dipercaya.
4. Kurangi gaya hidup konsumtif
Konsumtif atau tidaknya gaya hidup seseorang memang relatif dan tergantung dengan kemampuan seseorang. Namun tidak ada salahnya kita mengurangi gaya hidup konsumtif yang dirasa tidak perlu. Langkah pertama sebelum menguranginya, kamu harus menentukan prioritas dan membedakan antara kebutuhan dan keinginanmu.
5. Menyiapkan dana pendidikan anak
Dana pendidikan anak juga tak kalah penting sebagai upaya memutus mata rantai ini. Dengan asuransi pendidikan, orang tua dapat menyiapkan biaya pendidikan anak untuk masa depan dimulai dari sekarang dan tentu saja ini akan meringankan beban orang tua dikemudian hari.
Sebelum memilih asuransi pendidikan, pastikan kamu memperkirakan perhitungan biaya pendidikan anak secara detail, seperti akan memilih sekolah di mana yang disesuaikan dengan kemampuan finansial. Pilihlah perusahaan asuransi yang telah terdaftar dan diawasi oleh OJK.
Silahkan hubungi Agen Asuransi sahabat keluarga Anda untuk mulai merencanakan memiliki asuransi pendidikan anak yang dapat menjamin tersedianya dana pendidikan anak dalam jangka waktu tertentu.
6. Mengajarkan anak untuk menabung dan belajar mandiri secara finansial
Perilaku gemar menabung harus diajarkan sedini mungkin oleh siapapun. Begitu pula jika kamu memiliki anak, maka segeralah untuk mengajarkan mereka belajar menabung, membedakan kebutuhan dan keinginan, hingga memotivasi untuk membeli kebutuhan mereka dari uang hasil menabung. Hal ini efektif untuk membuat anak menjadi semangat menabung.
Selain menabung di celengan, kenalkan anak untuk membuka tabungan di bank yang kini terdapat program khusus anak yaitu Simpanan Pelajar (SimPel) untuk pelajar SD hingga SMA dan Simpanan Mahasiswa & Pemuda (SiMuda) untuk usia 18 hingga 30 tahun.
Jika Anda merupakan salah satu yang sedang mengalami menjadi generasi sandwich, maka tak ada salahnya untuk terbuka dengan orang tua untuk membahas kemampuan memberikan bantuan finansial. Memang pada ajaran agama dan prinsip budaya yang kita anut, anak diajarkan untuk berbakti dan membahagiakan orang tua. Namun, akan menjadi kurang tepat apabila kemudian diartikan jika orang tua yang sudah tidak berpenghasilan dapat dengan bebas menggantungkan diri pada anaknya yang bekerja.
Dengan komunikasi yang terbuka, nantinya diharapkan sang orang tua akan mengerti dan tidak terlalu besar menuntut sehingga beban dan tingkat stress anak sedikit berkurang.
Semoga, kamu tidak menjadi generasi sandwich selanjutnya atau bahkan menjadi orang tua (generasi atas) yang dianalogikan sebagai roti penghimpit!